on Thursday, 13 October 2016
Bibit unggul subur nafas ku hirup, penggerak negeri kamilah itu

Setitik nafas yang kami punya adalah tempat kami berada dalam balutan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lahir sebagai anak pertama, berharap menjadi tauladan untuk generasi yang akan datang

Lahir sebagai anak pertama, menjadi tumpuan dan harapan bangsa
Menjadi seorang hakim yang ideal, diperlukan moralitas hukum

Marwah intelektual tinggi serta etika yang baik dibalut dengan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa

Internalisasi etika yang ditanamkan dalam hati dan jiwa kami yang kemudian hari akan menghantarkan kami menjadi pribadi yang bermoral

Klinik etik dan hukum mempersatukan mahasiswa hukum dari sabang sampai merauke

Klinik etik dan hukum membulatkan tekad kami akan tujuan dan asa di masa depan untuk menciptakan hukum yang berkeadilan

Melalui materi ajar etik dan hukum yang diadakan oleh Komisi Yudisial itulah jawabannya

Kami anggota klinik etik dan hukum bertekad menegakkan peradilan yang bersih di bumi nusantara

Suku dan agama bukanlah alasan untuk membeda-bedakan orang di mata hukum

Semoga Tuhan merestui kita

KREDO
Angkatan Pertama Klinik Etik dan Hukum Komisi Yudisial RI
Citarik, Sukabumi

29 November 2015 
BEBAN DAN TANTANGAN HAKIM INDONESIA

Oleh :
ANSYAHRUL

Disampaikan pada Kuliah Umum yang diadakan oleh Klinik Etik dan Hukum Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung
Bandung, 16 Juni 2015

A.   PENDAHULUAN
Semua kita sepakat bahwa ekspetasi atau harapan masyarakat terhadap para hakim khususnya dan terhadap dunia peradilan pada umumnya sangatlah tinggi.
Hal ini dalaha wajar, karena kita masih berada di dalam era reformasi, dan era reformasi adalah merupakan suatu masa transisi. Guru Besar New York Law School, yaitu Prof. Ruti G. Teitel mengemukakan sebagai berikut :
“...... pada masa transisi, pengambilan keputusan hukum oleh badan pengadilan sering kali bisa lebih cepat daripada oleh badan legislatif, yang biasa diperlambat oleh kurangnya pengalaman dan karena terlalu kompromistis. Terlebih lagi, dalam konteks gejolak politik, badan pengadilan seringkal lebih kompeten dalam membahas penyelesaian kontekstual, kasus demi kasus, terhadap kontroversi-kontroversi transisional”.[1]