BEBAN DAN TANTANGAN HAKIM INDONESIA

on Thursday 13 October 2016
BEBAN DAN TANTANGAN HAKIM INDONESIA

Oleh :
ANSYAHRUL

Disampaikan pada Kuliah Umum yang diadakan oleh Klinik Etik dan Hukum Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung
Bandung, 16 Juni 2015

A.   PENDAHULUAN
Semua kita sepakat bahwa ekspetasi atau harapan masyarakat terhadap para hakim khususnya dan terhadap dunia peradilan pada umumnya sangatlah tinggi.
Hal ini dalaha wajar, karena kita masih berada di dalam era reformasi, dan era reformasi adalah merupakan suatu masa transisi. Guru Besar New York Law School, yaitu Prof. Ruti G. Teitel mengemukakan sebagai berikut :
“...... pada masa transisi, pengambilan keputusan hukum oleh badan pengadilan sering kali bisa lebih cepat daripada oleh badan legislatif, yang biasa diperlambat oleh kurangnya pengalaman dan karena terlalu kompromistis. Terlebih lagi, dalam konteks gejolak politik, badan pengadilan seringkal lebih kompeten dalam membahas penyelesaian kontekstual, kasus demi kasus, terhadap kontroversi-kontroversi transisional”.[1]
Namun ekspetasi yang tinggi ini tidak diimbangi dengan pemahaman masyarakat mengenai permasalahan dan persoalan-persoalan yang harus dihadapi oleh para hakim kita dalam mengemban amanah dan tugasnya yang mulian untuk menegakkan hukum dan keadilan di negara tercinta ini.
Sebenarnya, tiga dekade lalu, Prof. Satjipto Rahardjo telah mengingatkan mengenai hal ini. Beliau menulis :
Di Indonesia kita kurang atau bahkan mungkin sama sekali tidak menaruh perhatian pada karakteristik yang melekat pada hakim, seperti latar belakang perorangan, pendidikannya serta keadaan-keadaan konkret yang dihadapinya pada waktu akan membuat suatu keputusan. Tetapi dalam rangka memahami dan meninjau lembaga pengadilan sebagai suatu lembaga yang bertugas menjalankan salah satu fungsi masyarakat, maka kita tidak dapat membiarkan peranan proses pembentukan hakim itu sebagai suatu kenyataan begitu saja tanpa mengkajinya lebih jauh. Selama pengambilan keputusan masih belum dilakukan dengan peralatan mekanik, selama itu pula faktor manusia yaittu hakim, disini masih perlu dipelajari dalam berbagai seluk beluknya”.[2]
Kurangnya pemahaman tentang permasalahan-permasalahan dan persoalan-persoalan yang harus dihadapi oleh para hakim di Indonesia, mengakibatkan bahwa hal-hal yang terpublikasikan dan tersosialisasikan justru pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum hakim, yang kemudia menjadi stigma yang dilekatkan pada seluruh hakim kita. Hal ini tentu akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan, yang pada gilirannya dapat pula menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Negara. Hal ini tentu sangat berbahaya.
Seorang hakim di Amerika Serikat, Arthur T. Vanderbilt (1888-1957) berpendapat sebagai berikut :
......it is in the court and not in the legislature that our citizen primarily feel the keen, cutting edge of the laws. If they have respect for the work of the courts, their respect for law will survive the shortcommings of every other branch of goverment; but if they lose their respect for the work of the courts, their respect for law and order will varnish with it to the great detriment of society”.[3]
Makalah singkat ini berupaya mengetengahkan sebagaian saja dari beban dan tantangan yang harus dihadapi oleh insan-insan hakim Indonesia, dengan harapan agar semua pihak dapat melihat hakim-hakim kita secara arif fan obyektif.
Pengertian beban dan tantangan dalam makalah ini bukanlah suatu kesatuan, karena apa yang dimaksudkan sebagai beban dapat pula dipresepsikan sebagai tantangan, begitu pula sebaliknya, sehingga apa yang dikemukakan dalam makalah ini semata-mata untuk memudahkan kita memahami permasalahan dan persoalan-persoalan yang dihapai para hakim kita.

B.   BEBAN HAKIM INDONESIA
Hakim adalah salah satu jabatan yang tertua di dunia, dapat dikatakan bahwa jabatan hakim seumur dengan sejarah peradaban manusia. Apabila kita melihat sejarah peradaban manusia hingga sekarang ini, maka akan terlihat bahwa ada dua aspek yang menggerakkan dan membentuk peradaban tersebut, yaitu : aspek budaya dan aspek agama, kedua aspek ini pula yang telah membentuk dan memberi makna dan hakekat jabatan hakim.[4]
Menjabat jabatan hakim memanglah tidak ringan, karena ada keniscayaan atau postulaat yang harus dipikul oleh setiap hakim, yang antara lain adalah :
1.   Peradilan Indonesia dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Berbeda dengan di negara-negara lain, peradilan mereka hanya dilakukan “Atas Nama Raja” atau “Demi/Untuk Keadilan” atau “Untuk / Atas Nama Negara”, di Indonesia keadilan merujuk kepada keadilan hakiki dari sumber keadilan itu yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, maka jabatan hakim di Indonesia bukanlah alat penguasa, atau sekedar fungsi dan birokrasi negara semata-mata, tapi merupakan jabatan yang bersifat transedental “menembus langit”. Hal ini merupakan beban yang sangat berat bagi seorang hakim di Indonesia dalam mengemban amanah, peran, tanggung jawab, tugas pokok, dan fungsinya.
2.   Mengadili adalah pergulatan kemanusiaan.
Prof. Mr Roeslan Saleh beroendapat bahwa :
Mengadili adalah suatu proses yang dengan susah payah telah terjadi di antara manusia dan manusia. Mengadili adalah suatu pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum. Mengadili tanpa suatu hubungan yang bersifat sesama manusia pada hakekatnya tidaklah mungkin”.[5]
Seorang hakim juga seorang manusia harus mengadili sesama manusia, sehingga seorang hakim harus mamahami manusia-manusia lain, misalnya dengan ilmu bantu antara lain psikologi, antroplogi, dan sosiologi. Hakim sebagai seorang manusia tentu juga memiliki kelamahan-kelemahan dan ia harus mampu mengatasi itu semua. Untuk itu, seorang hakim haruslah memiliki kepribadian yang kuat, karena hal itu akan menentukan adil tidaknya putusannya, sebagaimana diungkapkan oleh seorang sosiologi hukum asal Austria : Eugen Ehrlich yaitu : “There is no guaranty of justice, except the personality of the judge”.[6]
3.   Hakim adalah produk suatu masyarakat.
Prof. Satjipto Rahardjo berpendapat :
Hakim disini kita lihat sebagai bagian atau kelanjutan dari pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, oleh sebab itu di dalam menjalankan perannyannya itu ia merupakan :
1)   Pengemban nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat
2)   Hasil pembinaan masyarakat (sosialisasi)
3)   Sasaran pengaruh lingkungan pada waktu itu”.[7]
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 pada Pasal 5 ayat (1) mewajibkan para hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini seorang hakim harus memahami betul apakah nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat itu bersifat atau berdampak positif atau negatif.
4.   Sistem peradilan Indonesia bersifat terbuka untuk memberikan akses pada masyarakat untuk memperoleh keadilan.
Peradilan kita tempat menampung berbagai permasalahan hukum atau sengketa yang terjadi di dalam masyarakat. Seakan-akan hanya lembaga peradilanlah tempat satu-satunya untuk menyelesaikan sengketa, sehingga beban tugas hakim Indonesia baik dari segi kuantitas maupun kualitas menjadi berat sekali.
Berbeda halnya seperti di Tiongkok, sebagaimana laporan hasil penelitian dari Prof. Victor H. Li seorang Guru Besar keturunan Hongkong pada Stanford Law School Amerika Serikat sebagai berikut :
“......But in China, traditionally, the court was a place to be feared and avoided. Even today the courts in China do very little. Much of the work of controlling antisocial behavior is handled at the peer of group level or through administrative agencies and tribunals ; and except for dwelling and minor personal effects, there is little private property to disagree over. This leaves the courts only two general catagories of cases contested divorces and very criminal cases”.[8]
Oleh karenanya hakim Indonesia memerlukan daya konsentrasi tinggi dalam menangani suatu perkara, karena dalam waktu tertentu ia akan menangani berbagai macam perkara dengan aspek hukum yang berbeda-beda.

C.   TANTANGAN YANG DIHADAPI HAKIM DI INDONESIA
Tantangan yang dihadapi oleh para hakim di Indonesia adalah berupa kondisi obyektif yang ada dan berlaku di Indonesia, antara lain :
1.   Sistem hukum di Indonesia merupakan salah satu yang paling kompleks di seluruh dunia.
Daniel S. Lev (1993-2006) seorang Guru Besar Ilmu Politik terkemuka (terakhir di Washington University-Amerika Serikat) yang lama maelakukan penelitian di Indonesia berkesimpulan bahwa :
Indonesia merupakan suatu contoh yang menarik sekali, karena sistem hukum yang berlaku di dalamnya merupakan salah satu yang paling kompleks di seluruh dunia – dan nampaknya tidak lain disebabkan keadaan sosial dan politik – bahkan hampir di tiap segi dan bidang akan nampak Indonesia adalah satu negara yang serba kompleks”.[9]
Para hakim Indonesia harus memahami kondisi ini, sehinga harus mempunyai pemahaman dan wawan yang luas mengenai berbagai sistem hukum tersebut. walaupun seorang hakim secara universal adalah seorang generalist yang harus bekerja di bawah tekanan (baik tekanan waktu, maupun, tekanan kepentingan berbagai pihak). Mengenai ini seorang hakim Amerika Serikat yang juga seorang pengajar pada University of Chicago-Amerika Serikat, Richard A. Posner berpendapat sebagai berikut :
A judge id generalist who writes an opinion under pressure of time in whatever case, in whatever field of law, is assigned to him”.[10]
Jelaslah bahwa hakim di Indonesia memikul beban yang lebih berat daripada hakim di negara-negara lain.
2.   Indonesia adalah negara yang luas.
Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State) yang terbesar di dunia dengan 17.508 pulau, dengan luas teritorial 5.193.250 Km2 yang terdiri dari luas daratan 2.027.087 Km2, dan 3.166.163 Km2 luas laut. Garis pantai Indonesia adalah 81.000 Km (hampir 25% dari panjang pantai di dunia). Jumlah penduduk adalah lebih kurang 250.000.000 jiwa yang merupakan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, tetapi dengan penyebaran penduduk yang tidak merata, dimana pulau Jawa dengan luas wilayah seluas 7% luas Indonesia dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Jumlah hakim Indonesia saat ini sebanyak 8.500 orang yang harus mengangani perkara dengan jumlah rata-rata 5.000.000 perkara setiap tahunnya dari sebanyak 825 unit pengadilan (satuan kerja) dari empat lingkungan peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
3.   Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk atau heterogen.
Penduduk Indonesia terdiri atas 746 suku bangsa, dengan 583 bahasa daerah dan dialek, yang berkembang dari 67 bahasa induk (bahasa daerah).
Jumlah suku bangsa di atas berati juga menunjukkan jumlah hukum adat dan kearifan lokal yang berasal dari 19 lingkungan hukum adat menurut hasil penelitian seorang antropolog Belanda yaitu Cornelis Van Vallenhoven (1874-1933).
Kondisi inilah yang menuntut para hakim harus mengalami bertugas di berbagai tempat di Nusantara agar mampu menyerap nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam berbagai lingkungan masyarakat Indonesia. Di samping itu seluruh agama besar di dunia, baik agama samawi maupun bukan, memiliki penganut di Indonesia di samping masih pula ada agama-agama lokal dan berbagai aliran kepercayaan.
4.   Pesatnya dinamika masyarakat.
Dinamika politik membawa jejak sejara dimana Indonesia beberapa kali mengalami masa-masa transisi, yaitu :
1)   Dari status negara jajahan menjadi negara yang berdaulat
2)   Dari Orde Lama ke Orde Baru
3)   Dari Orde Baru ke Era Reformasi
Indonesia pun tidak terlepas dari arus globalisasi yang menyentuh berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Para hakim Indonesia harus mampu memahami dan menjawab tantangan tersebut.
D.   PENUTUP
Dari paparan beban dan tantangan yang harus dihadapi oleh para hakim Indonesia di atas kita dapat menimpulkan bahwa syarat dan prasyarat bagi seorang hakim Indonesia dituntut keteguhan moral dan ketangguhan mental, disamping penguasaan ilmu, keterampilan dan attitude, serta keluasan wawasan. Atau dengan kata lain bahwa seorang hakim Indonesia haruslah seorang yang memiliki kepribadian yang tangguh.
Demikianlah paparan ini disampaikan, semoga bermanfaat bagi kita semua, setidak-tidaknya untuk meluruskan persepsi kita secara proporsional terhadap saudara-saudara kita yang mendapat kepercayaan untuk memikul amanah sebagai hakim.






[1] Ruti, G. Teitel, Transitional Justice, diterjemahkan oleh Tim Penterjemah Elsam dengan judul : Keadilan Transisional, Sebuah Tinjauan Komprehensif, Elsam, Jakarta, 2004, halaman 47.
[2] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1986, halaman 57.
[3] Lihat : Henry J. Abraham, The Judicial Process: An Introductory Analysis of the Courts of The United States, England, and France, Third Edition Revised and Englarged, Oxford University Press, New York, 1975, halaman 3.
[4] Ansyahrul, Dasar Filosofis Kode Etik dan Pedoman perilaku Hakim (KEPPH), Makalah, 2015, halaman 4 – 5.
[5] Roeslan Saleh, Mengadili Sebuah Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru, Jakarta, 1979, halaman 22.
[6] Lihat : Benjamin N. Cordozo, The Nature of the Judicial Process, Yale University Press, New Haven Connecticut, Sixteenth Printing, 1955, halaman 16-17.
[7] Satjipto Rahardjo, Op.Cit., halaman 58.
[8] Victor H.Li, Law Without Lawyers-Comparative View of Law in China and United States, West View Press Inc., Boulded-Colorado, United States of Amerika, 1978, halaman 14.
[9] Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia – A Study the Political Bases of Legal Institutions, Alih bahasa oleh Zaini Ahmad Noeh dengan judul Peradilan Agama Islam di Indonesia – Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaha-Lembaga Hukum, Intermasa, Jakarta, Cetakan Pertama, 1980, halaman 11.
[10] Richard A. Posner, How Judges Think, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, England, 2008, halaman 206. 

0 komentar:

Post a Comment