BEBAN DAN TANTANGAN HAKIM INDONESIA
Oleh :
ANSYAHRUL
Disampaikan pada Kuliah Umum yang diadakan oleh
Klinik Etik dan Hukum Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung
Bandung, 16 Juni 2015
A.
PENDAHULUAN
Semua kita sepakat bahwa ekspetasi atau harapan
masyarakat terhadap para hakim khususnya dan terhadap dunia peradilan pada
umumnya sangatlah tinggi.
Hal ini dalaha wajar, karena kita masih berada di
dalam era reformasi, dan era reformasi adalah merupakan suatu masa transisi. Guru
Besar New York Law School, yaitu Prof. Ruti G. Teitel mengemukakan sebagai
berikut :
“...... pada masa transisi, pengambilan keputusan
hukum oleh badan pengadilan sering kali bisa lebih cepat daripada oleh badan
legislatif, yang biasa diperlambat oleh kurangnya pengalaman dan karena terlalu
kompromistis. Terlebih lagi, dalam konteks gejolak politik, badan pengadilan
seringkal lebih kompeten dalam membahas penyelesaian kontekstual, kasus demi
kasus, terhadap kontroversi-kontroversi transisional”.[1]
Namun ekspetasi yang tinggi ini tidak diimbangi
dengan pemahaman masyarakat mengenai permasalahan dan persoalan-persoalan yang
harus dihadapi oleh para hakim kita dalam mengemban amanah dan tugasnya yang
mulian untuk menegakkan hukum dan keadilan di negara tercinta ini.
Sebenarnya, tiga dekade lalu, Prof. Satjipto
Rahardjo telah mengingatkan mengenai hal ini. Beliau menulis :
“Di Indonesia kita kurang atau bahkan mungkin
sama sekali tidak menaruh perhatian pada karakteristik yang melekat pada hakim,
seperti latar belakang perorangan, pendidikannya serta keadaan-keadaan konkret
yang dihadapinya pada waktu akan membuat suatu keputusan. Tetapi dalam rangka
memahami dan meninjau lembaga pengadilan sebagai suatu lembaga yang bertugas
menjalankan salah satu fungsi masyarakat, maka kita tidak dapat membiarkan
peranan proses pembentukan hakim itu sebagai suatu kenyataan begitu saja tanpa
mengkajinya lebih jauh. Selama pengambilan keputusan masih belum dilakukan
dengan peralatan mekanik, selama itu pula faktor manusia yaittu hakim, disini
masih perlu dipelajari dalam berbagai seluk beluknya”.[2]
Kurangnya pemahaman tentang
permasalahan-permasalahan dan persoalan-persoalan yang harus dihadapi oleh para
hakim di Indonesia, mengakibatkan bahwa hal-hal yang terpublikasikan dan
tersosialisasikan justru pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
oknum-oknum hakim, yang kemudia menjadi stigma yang dilekatkan pada seluruh
hakim kita. Hal ini tentu akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada
lembaga peradilan, yang pada gilirannya dapat pula menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap Negara. Hal ini tentu sangat berbahaya.
Seorang hakim di Amerika Serikat, Arthur T.
Vanderbilt (1888-1957) berpendapat sebagai berikut :
“......it is in the court and not in the
legislature that our citizen primarily feel the keen, cutting edge of the laws.
If they have respect for the work of the courts, their respect for law will
survive the shortcommings of every other branch of goverment; but if they lose
their respect for the work of the courts, their respect for law and order will
varnish with it to the great detriment of society”.[3]
Makalah singkat ini berupaya mengetengahkan
sebagaian saja dari beban dan tantangan yang harus dihadapi oleh insan-insan
hakim Indonesia, dengan harapan agar semua pihak dapat melihat hakim-hakim kita
secara arif fan obyektif.
Pengertian beban dan tantangan dalam makalah ini
bukanlah suatu kesatuan, karena apa yang dimaksudkan sebagai beban dapat pula
dipresepsikan sebagai tantangan, begitu pula sebaliknya, sehingga apa yang
dikemukakan dalam makalah ini semata-mata untuk memudahkan kita memahami permasalahan
dan persoalan-persoalan yang dihapai para hakim kita.
B. BEBAN HAKIM
INDONESIA
Hakim adalah salah satu jabatan yang
tertua di dunia, dapat dikatakan bahwa jabatan hakim seumur dengan sejarah
peradaban manusia. Apabila kita melihat sejarah peradaban manusia hingga
sekarang ini, maka akan terlihat bahwa ada dua aspek yang menggerakkan dan
membentuk peradaban tersebut, yaitu : aspek budaya dan aspek agama, kedua aspek
ini pula yang telah membentuk dan memberi makna dan hakekat jabatan hakim.[4]
Menjabat jabatan hakim memanglah tidak
ringan, karena ada keniscayaan atau postulaat
yang harus dipikul oleh setiap hakim, yang antara lain adalah :
1.
Peradilan
Indonesia dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan
bahwa Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Berbeda dengan
di negara-negara lain, peradilan mereka hanya dilakukan “Atas Nama Raja” atau “Demi/Untuk
Keadilan” atau “Untuk / Atas Nama Negara”, di Indonesia keadilan merujuk kepada
keadilan hakiki dari sumber keadilan itu yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan
demikian, maka jabatan hakim di Indonesia bukanlah alat penguasa, atau sekedar
fungsi dan birokrasi negara semata-mata, tapi merupakan jabatan yang bersifat
transedental “menembus langit”. Hal ini merupakan beban yang sangat berat bagi
seorang hakim di Indonesia dalam mengemban amanah, peran, tanggung jawab, tugas
pokok, dan fungsinya.
2.
Mengadili adalah
pergulatan kemanusiaan.
Prof. Mr
Roeslan Saleh beroendapat bahwa :
“Mengadili adalah suatu proses yang dengan
susah payah telah terjadi di antara manusia dan manusia. Mengadili adalah suatu
pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum. Mengadili tanpa suatu hubungan
yang bersifat sesama manusia pada hakekatnya tidaklah mungkin”.[5]
Seorang hakim
juga seorang manusia harus mengadili sesama manusia, sehingga seorang hakim
harus mamahami manusia-manusia lain, misalnya dengan ilmu bantu antara lain
psikologi, antroplogi, dan sosiologi. Hakim sebagai seorang manusia tentu juga
memiliki kelamahan-kelemahan dan ia harus mampu mengatasi itu semua. Untuk itu,
seorang hakim haruslah memiliki kepribadian yang kuat, karena hal itu akan
menentukan adil tidaknya putusannya, sebagaimana diungkapkan oleh seorang
sosiologi hukum asal Austria : Eugen Ehrlich yaitu : “There is no guaranty of justice, except the personality of the judge”.[6]
3.
Hakim adalah
produk suatu masyarakat.
Prof. Satjipto
Rahardjo berpendapat :
“Hakim disini kita lihat sebagai bagian atau
kelanjutan dari pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat,
oleh sebab itu di dalam menjalankan perannyannya itu ia merupakan :
1) Pengemban
nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat
2) Hasil
pembinaan masyarakat (sosialisasi)
3) Sasaran
pengaruh lingkungan pada waktu itu”.[7]
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 pada Pasal 5
ayat (1) mewajibkan para hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini
seorang hakim harus memahami betul apakah nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat itu bersifat atau berdampak positif
atau negatif.
4.
Sistem peradilan
Indonesia bersifat terbuka untuk memberikan akses pada masyarakat untuk
memperoleh keadilan.
Peradilan kita
tempat menampung berbagai permasalahan hukum atau sengketa yang terjadi di
dalam masyarakat. Seakan-akan hanya lembaga peradilanlah tempat satu-satunya untuk
menyelesaikan sengketa, sehingga beban tugas hakim Indonesia baik dari segi
kuantitas maupun kualitas menjadi berat sekali.
Berbeda halnya
seperti di Tiongkok, sebagaimana laporan hasil penelitian dari Prof. Victor H.
Li seorang Guru Besar keturunan Hongkong pada Stanford Law School Amerika
Serikat sebagai berikut :
“......But in China, traditionally, the court was a
place to be feared and avoided. Even today the courts in China do very little.
Much of the work of controlling antisocial behavior is handled at the peer of
group level or through administrative agencies and tribunals ; and except for
dwelling and minor personal effects, there is little private property to disagree
over. This leaves the courts only two general catagories of cases contested
divorces and very criminal cases”.[8]
Oleh karenanya
hakim Indonesia memerlukan daya konsentrasi tinggi dalam menangani suatu
perkara, karena dalam waktu tertentu ia akan menangani berbagai macam perkara
dengan aspek hukum yang berbeda-beda.
C. TANTANGAN YANG
DIHADAPI HAKIM DI INDONESIA
Tantangan
yang dihadapi oleh para hakim di Indonesia adalah berupa kondisi obyektif yang
ada dan berlaku di Indonesia, antara lain :
1.
Sistem hukum
di Indonesia merupakan salah satu yang paling kompleks di seluruh dunia.
Daniel S. Lev
(1993-2006) seorang Guru Besar Ilmu Politik terkemuka (terakhir di Washington
University-Amerika Serikat) yang lama maelakukan penelitian di Indonesia
berkesimpulan bahwa :
“Indonesia merupakan suatu contoh yang
menarik sekali, karena sistem hukum yang berlaku di dalamnya merupakan salah
satu yang paling kompleks di seluruh dunia – dan nampaknya tidak lain
disebabkan keadaan sosial dan politik – bahkan hampir di tiap segi dan bidang
akan nampak Indonesia adalah satu negara yang serba kompleks”.[9]
Para hakim
Indonesia harus memahami kondisi ini, sehinga harus mempunyai pemahaman dan
wawan yang luas mengenai berbagai sistem hukum tersebut. walaupun seorang hakim
secara universal adalah seorang generalist
yang harus bekerja di bawah tekanan (baik tekanan waktu, maupun, tekanan
kepentingan berbagai pihak). Mengenai ini seorang hakim Amerika Serikat yang
juga seorang pengajar pada University of Chicago-Amerika Serikat, Richard A.
Posner berpendapat sebagai berikut :
“A judge id generalist who writes an opinion
under pressure of time in whatever case, in whatever field of law, is assigned
to him”.[10]
Jelaslah bahwa
hakim di Indonesia memikul beban yang lebih berat daripada hakim di
negara-negara lain.
2.
Indonesia
adalah negara yang luas.
Indonesia merupakan
negara kepulauan (Archipelagic State) yang
terbesar di dunia dengan 17.508 pulau, dengan luas teritorial 5.193.250 Km2
yang terdiri dari luas daratan 2.027.087 Km2, dan 3.166.163 Km2
luas laut. Garis pantai Indonesia adalah 81.000 Km (hampir 25% dari panjang
pantai di dunia). Jumlah penduduk adalah lebih kurang 250.000.000 jiwa yang
merupakan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, tetapi dengan penyebaran
penduduk yang tidak merata, dimana pulau Jawa dengan luas wilayah seluas 7%
luas Indonesia dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Jumlah hakim Indonesia saat
ini sebanyak 8.500 orang yang harus mengangani perkara dengan jumlah rata-rata
5.000.000 perkara setiap tahunnya dari sebanyak 825 unit pengadilan (satuan
kerja) dari empat lingkungan peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
3.
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang majemuk atau heterogen.
Penduduk Indonesia
terdiri atas 746 suku bangsa, dengan 583 bahasa daerah dan dialek, yang
berkembang dari 67 bahasa induk (bahasa daerah).
Jumlah suku
bangsa di atas berati juga menunjukkan jumlah hukum adat dan kearifan lokal
yang berasal dari 19 lingkungan hukum adat menurut hasil penelitian seorang
antropolog Belanda yaitu Cornelis Van Vallenhoven (1874-1933).
Kondisi inilah
yang menuntut para hakim harus mengalami bertugas di berbagai tempat di
Nusantara agar mampu menyerap nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dan berkembang di dalam berbagai lingkungan masyarakat Indonesia. Di samping
itu seluruh agama besar di dunia, baik agama samawi maupun bukan, memiliki
penganut di Indonesia di samping masih pula ada agama-agama lokal dan berbagai
aliran kepercayaan.
4.
Pesatnya dinamika
masyarakat.
Dinamika
politik membawa jejak sejara dimana Indonesia beberapa kali mengalami masa-masa
transisi, yaitu :
1)
Dari status
negara jajahan menjadi negara yang berdaulat
2)
Dari Orde Lama
ke Orde Baru
3)
Dari Orde Baru
ke Era Reformasi
Indonesia pun tidak terlepas dari arus globalisasi
yang menyentuh berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial,
budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Para hakim Indonesia harus mampu memahami dan
menjawab tantangan tersebut.
D. PENUTUP
Dari paparan beban dan tantangan yang
harus dihadapi oleh para hakim Indonesia di atas kita dapat menimpulkan bahwa
syarat dan prasyarat bagi seorang hakim Indonesia dituntut keteguhan moral dan
ketangguhan mental, disamping penguasaan ilmu, keterampilan dan attitude, serta
keluasan wawasan. Atau dengan kata lain bahwa seorang hakim Indonesia haruslah
seorang yang memiliki kepribadian yang tangguh.
Demikianlah paparan ini disampaikan,
semoga bermanfaat bagi kita semua, setidak-tidaknya untuk meluruskan persepsi
kita secara proporsional terhadap saudara-saudara kita yang mendapat
kepercayaan untuk memikul amanah sebagai hakim.
[1]
Ruti, G. Teitel, Transitional Justice, diterjemahkan oleh Tim Penterjemah Elsam
dengan judul : Keadilan Transisional, Sebuah Tinjauan Komprehensif, Elsam,
Jakarta, 2004, halaman 47.
[2]
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1986, halaman 57.
[3]
Lihat : Henry J. Abraham, The Judicial Process: An Introductory Analysis of the
Courts of The United States, England, and France, Third Edition Revised and
Englarged, Oxford University Press, New York, 1975, halaman 3.
[4]
Ansyahrul, Dasar Filosofis Kode Etik dan Pedoman perilaku Hakim (KEPPH),
Makalah, 2015, halaman 4 – 5.
[5]
Roeslan Saleh, Mengadili Sebuah Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru, Jakarta,
1979, halaman 22.
[6]
Lihat : Benjamin N. Cordozo, The Nature of the Judicial Process, Yale
University Press, New Haven Connecticut, Sixteenth Printing, 1955, halaman
16-17.
[7]
Satjipto Rahardjo, Op.Cit., halaman
58.
[8]
Victor H.Li, Law Without Lawyers-Comparative View of Law in China and United
States, West View Press Inc., Boulded-Colorado, United States of Amerika, 1978,
halaman 14.
[9]
Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia – A Study the Political Bases of
Legal Institutions, Alih bahasa oleh Zaini Ahmad Noeh dengan judul Peradilan
Agama Islam di Indonesia – Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaha-Lembaga
Hukum, Intermasa, Jakarta, Cetakan Pertama, 1980, halaman 11.
[10]
Richard A. Posner, How Judges Think, Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts, London, England, 2008, halaman 206.
0 komentar:
Post a Comment