HUKUM ADAT SEBAGAI HUKUM TIDAK TERTULIS

on Wednesday 2 April 2014

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
         
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah yang terbentang di sekitarnya. Ini menyebabkan keanekaragaman suku, adat istiadat dan kebudayaan dari setiap suku di setiap wilayahnya. Hal ini sungguh sangat menakjubakan karena biarpun Indonesia memiliki banyak wilayah, yang berbeda suku bangsanya, tetapi kita semua dapat hidup rukun satu sama lainnya.
Sebuah lingkungan masyarakat di manapun keberadaannya pasti memiliki aturan yang menggariskan perilaku anggota masyarakat tersebut. Berbicara mengenai aturan maka kita akan berbicara mengenai sanksi. Aturan tanpa adanya sanksi adalah sia-sia. Karena fungsi sanksi adalah untuk memaksakan ketaatan masyarakat terhadap aturan tersebut. Tanpa ada sanksi peraturan tidak akan dipatuhi oleh masyarakat.
Ketaatan masyarakat terhadap aturan (hukum) mencerminkan kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Semakin tinggi kesadaran masyarakat maka semakin rendah tingkat pelanggaran hukumnya. Bahkan jika kesadaran yang dimiliki sangat tinggi masyarakat tidak membutuhkan aparat penegak hukum seperti di Swiss.
Sebuah aturan hukum akan ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat apabila aturan tersebut memberikan jaminan bagi mereka akan hak dan kewajiban secara proporsional. Ketika seseorang merasakan suatu aturan yang melingkupinya memberikan kenyamanan maka individu tersebut akan tunduk dan patuh pada aturan hukum tersebut. Dalam kenyataannya dalam masyarakat hidup aturan yang tidak tertulis, yang lebih dikenal dengan hukum adat. Walaupun aturan-aturan tersebut tidak tertulis tetapi masyarakat (adat) mematuhi aturan tersebut.
         


Hukum tidak tertulis adalah juga hukum kebiasaan, salah satu contoh hukum tidak tertulis adalah hukum adat Indonesia[1]. Menurut R. Soepomo, Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Kebiasaan atau tradisi adalah sumber hukum yang tertua, sumber dari mana dikenal atau dapat digali sebagian dari hukum di luar undang-undang, tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya[2].
Perkembangan hukum tertulis dan tidak tertulis sebagai sumber hukum di dalam suatu tatanan hukum, terus berkembang pesat seiring semakin dinamisnya kehidupan bermasyarakat dan berkembangnya peradaban umat manusia. Hakim harus memeriksa dan memutuskan perkara sekalipun hukumnya tidak jelas, tidak lengkap. Ini berarti bahwa ia tidak terikat pada undang-undang, sehingga dalam hal ini kebiasaan mempunyai peranan yang penting[3].
Dengan demikian dinegara kita kebiasaan merupakan sumber hukum. Kalau pembentukan peraturan itu selalu dilakukan dalam pengadilan, maka terdapat hukum kebiasaan di samping undang-undang.

B.      Identifikasi Masalah
Hukum Adat merupakan hukum yang tidak tertulis akan tetapi didukung oleh rasa ketaatan dan kepatuhan yang luar biasa dari masyarakat di mana hukum itu berlaku. Mendasarkan uraian tersebut di atas maka permasalahan yang timbul adalah:
1.      Bagaimana Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945 ?
2.      Bagaimana Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan ?
3.      Bagaimana Pengakuan Adat oleh Hukum Formal ?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.   Pengertian Hukum Adat
Pengertian Hukum adat lebih sering diidentikkan dengan kebiasaan atau kebudayaan masyarakat setempat di suatu daerah. Mungkin belum banyak masyarakat umum yang mengetahui bahwa hukum adat telah menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia, sehingga pengertian hukum adat juga telah lama menjadi kajian dari para ahli hukum. Pengertian hukum adat dewasa ini sangat mudah kita jumpai di berbagai buku dan artikel yang ditulis oleh para ahli hukum di tanah air.
Secara histori, hukum yang ada di negara Indonesia berasal dari 2 sumber, yakni  hukum yang dibawa oleh orang asing (belanda) dan hukum yang lahir dan tumbuh di Negara Indonesia itu sendiri. Mr. C. Vollenhoven adalah seorang peneliti yang kemudian berhasil membuktikan bahwa negara Indonesia juga memiliki hukum pribadi asli.

B.   Pengertian Hukum Adat menurut Para Ahli
§  Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma mendefinisikan hukum adat sebagai aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan negara.
§  Menurut Van Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (sebab itu disebut hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (sebab itu disebut  dengan adat).
§  Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, pengertian hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.


§  Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven hampir sama dengan pengertian hukum adat yang dikemukakan oleh Prof. M. M. Djojodigoeno, SH. mengatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
§  Menurut Bushar Muhammad menerangkan bahwa untuk memberikan definisi atau  pengertian hukum adat sangat sulit sekali oleh karena hukum adat masih dalam pertumbuhan. Ada beberapa  sifat dan pembawaan hukum adat, yakni: tertulis atau tidak tertulis, pasti atau tidak pasti dan hukum raja atau hukum rakyat dan lain sebagainya.
§  Menurut Soerjono Soekanto memberikan pengertian hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang tidak dikitabkan (tidak dikodifikasi) bersifat pemaksaan (sehingga mempunyai akibat hukum).
§  Menurut Supomo dan hazairin membuat kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain. Hubungan yang dimaksud termasuk keseluruhan kelaziman dan kebiasaan dan kesusilaan yang hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh masyarakat. Termasuk juga seluruh peraturan yang mengatur sanksi terhadap pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat. Penguasa adat adalah mereka yang mempunyai kewibawaan dan yang memiliki kekuasaan memberi keputusan dalam suatu masyarakat adat. Keputusan oleh penguasa adat, antara lain keputusan lurah atau penghulu atau pembantu lurah atau wali tanah atau kepala adat atau hakim  dan lain sebagainya.

C.   Istilah Hukum Adat
Istilah “Hukum Adat” baru dipergunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan pada tahun 1929. Proses perkembangannya adalah sebagai berikut : Tahun 1747 – Pada waktu VOC (zaman Van Imhoff) menyusun buku perundang-undangan yang berlaku untuk Landraad-nya di Semarang dipergunakan istilah “Undang-undang Jawa sejauh dapat kita terima” (“de Javaanse wetten, voorzover ze bij ons tollerabel zijn”).
Tahun 1754 – William Marsden memakai di Sumatra sampai tahun 1836 istilah “customs of the country” dan “customs and manners of the native inhabitants”.
Istilah “Hukum Adat” itu sendiri semula masih asing bagi bangsa Indonesia. Sebabnya adalah bahwa ternyata dalam masyarakat Indonesia dahulu (zaman Mataram, Mojopahit, Pajajaran, Sriwijaya dan lain sebagainya) tidak ada suaru golongan tertentu yang khusus mencurahkan perhatiannya terhadap pengistilahan-pengistilahan hukum ini.Dan akhirnya pada tahun 1929 pemerintah kolonial Belanda mulai memakai istilah “Hukum Adat” (“Adatrecht”) dengan resmi di dalam peraturan perundang-undangannya.

D.   Istilah Hukum Adat menurut Para Ahli
Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-8194 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.
Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.
Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura : sebagai lanjutan kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat.

Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu tahun masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh[1] yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630.[2] Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.

E.   Sifat Hukum Adat
Hukum adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau Eropa Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme –realisme artinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi social atau keadilan social. Sifat yang menjadi ciri daripada hukum adat sebagai 3 C adalah:
1.      Commun atau komunal atau kekeluargaan (masyarakat lebih penting daripada individu);
2.      Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan hukum.
3.      Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum dinyatakan sah bila dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya. 28/10/2008 klas F
Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis dan plastis
1.      Statis, hukum adat selalu ada dalam amsyarakat,
2.      Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang
3.      Plastis/Fleksibel, kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan masyarakat.
Sunaryati Hartono, menyatakan28: Dengan perspektif perbandingan, maka ketiga ciri dapat ditemukan dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat agraris atau pra industri, tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa dan Amerika. Surnarjati Hartono sesungguhnya hendak mengatakan bahwa hukum adat bukan khas Indonesia, namun dapat ditemukan juga di berbagai masyarakat lain yang masih bersifat pra industri di luar Indonesia.

F.    Manfaat Mempelajari Hukum Adat

1.     Hukum Adat sebagai Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan bertujuan untuk meningkatkan kehidupan manusia. Di dalam meningkatkan hidup itu dibutuhkan petunjuk-petunjuk hidup. Salah satu petunjuk hidup itu adalah norma hukum, termasuk norma hukum adat.
Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan pada umumnya, maka hukum adat mempunyai:
§  Obyek adalah sasaran yang harus dipelajari yaitu kebiasaan-kebiasaan yang berkonsekuensi hukum.
§  Metode adalah cara untuk mempelajari, meneliti dan menganalisis hukum adat.
§  Sistematis adalah disusun sedemikian rupa sehingga orang mudah untuk mempelajarinya
Dengan demikian hukum adat dipelajari untuk memenuhi tugas Pengajaran dan Penelitian

2.     Dalam rangka pembinaan atau pembentukan hukum Nasional
Pembentukan hukum nasional menuju unifikasi hukum tidak bisa mengabaikan hukum adat yang ada di masyarakat. Zhukum adat merupakan sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan, karena hukum adat mempunyai asas-asas atau nilai-nilai yang universal dan lembaga. Asas-asas hukum adat yang dapat dipakai sebagai bahan pembentukan hukum nasional adalah :
a.       Asas kebersamaan dan kekeluargaan artinya mengutamakan kepentingan bersama dan kekeluargaan dalam pembentukan berbagai perundang-undangan
b.      Asas gotong royong. Asas ini dapat berbentuk gotong royong secara organis / konvensional, yaitu spontanitas saling membantu menolong yang membutuhkan. Dan juga ada yang gotong royong secara organisatoris, yaitu, tolong menolong melalui organisasi tertentu.
c.       Asas fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat
Manusia dikatakan berguna apabila dapat membantu sesamanya. Demikian pula hak milik bukan berarti milik pribadi semata-mata namun juga untuk kepentingan umum. Contoh fungsi sosial hak milik telah diakomodir dalam pasal 6 UUPA.
d.      Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum. Kekuasaan dari mulai desa hingga pemerintah pusat dibentuk dari persetujuan warga, baik dengan pemilu langsung maupun pemilu tidak langsung.
Lembaga-lembaga hukum adat yang dapat berfungsi  secara analog dengan cara-cara perdagangan modern , yaitu :
a.       Lembaga Panjar, Panjar adalah tanda permulaan seseorang yang berkeinginan membeli barang orang lain. Di dalam perdagangan modern dikenal lembaga yang mirip dengan lembaga panjar, yaitu commitmen fee dan down payment (DP). CF biasa di pungut oleh penjual pada saat penandatangan kontrak sebagai tanda jadi, CF ini tidak mengurangi harga barang. Sedangkan DP akan mempengaruhi atau mengurangi harga barang.
b.      Lembaga Maro, diambil dari kata separo. Orang yang mempunyai tanah namun tidak mampu untuk mengerjakannyannya dapat bekerja sama dengfan orang lain untuk mengerjakannya dan melakukan perjanjian bagi hasil dengan orang tersebut. dalam hukum nasional lembaga ini sudah diangkat dalam UU No.2/1960 yang mengatur pula tentang bagi hasil pertanian dan UU No.2/1964tentang bagi hasil perikanan. Dalam perdagangan modern disebut sebagai “production sharing contract”
c.       Lembaga jual oyodan atau jual tahuanan, Diambil dari kata oyot atau akar dalam bahasa jawa. Jual oyodan adalah pemilik  tanah menyewakan tanahnya untuk beberapa kali musim tanam atau bisa juga menyewakan tanahnya untuk beberapa tahun. Lembaga ini mirip dengan sewa-menyewa kapal kosong (bare boat/tanpa ABK) untuk melayani beberapa kali trayek tertentu.
d.      Lembaga tanggungan, Seseorang yang membutuhkan pinjaman uang dengan tanggungan / jaminan tanahnya. Dalam dunia modern sudah menjelma menjadi UU Hak Tanggungan dan juga jaminan dalam pengambilan kredit di bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya.

3.     Mengembalikan dan Memupuk Kepribadian Bangsa
Kepribadian atau karakter bangsa Indonesia yang cinta dengan kebudayaannya semakin luntur oleh modernisasi dan westernisasi. Dengan mempelajari hukum adat yang mengandung nilai-nilai luhur, diharapkan rasa nasionalisme / kepribadian bangsa menjadi tumbuh-kembang kembali.

4.     Agar mengetahui Fungsi dari Hukum Adat
Hukum adat mempunyai dua fungsi yaitu sebagai pedoman dan pengawasan (sociual control) . Sebagai pedoman, maka hukum adat berfungsi sebagai pedoman dalam bertingkah laku, bertindak, berbuat di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai pengawasan, hukum adat melalui petugas-petugas adat akan mengawasi segala tingfkah laku anggota masyarakat agar sesuai dengan hukum adat. Apabila ada pelanggaran maka akan dikenakan sanksi untuk memulihkan keseimbangan






BAB III
PEMBAHASAN


A.   Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945
Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.
Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. karena azas-azas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan disesusaikan  dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan


harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara :
1)      Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya;
2)      Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
3)       Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
4)       Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;
5)      Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil;
6)      Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 : 32-33)

Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka:
1.      Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ;
2.      Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
3.      Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
4.       Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.      Diatur dalam undang-undang

Dengan demikian konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
1.      Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;
2.      Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang;

Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya mengandung perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (indigeneous people). Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi :
1)      Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.
2)      Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan perkembangan zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat
B.     Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan

Perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun  2004, maka tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1.      Undang-undang Dasar 1945;
2.      Undang-undang/ Perpu
3.      Peraturan Pemerintah;
4.      Peraturan Presiden
5.      Peraturan Daerah;
Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.
Dalam kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975  telah dijelaskan secara rinci dimana sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim.

C.   Pengakuan Adat Oleh Hukum Formal

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh salah satu Hakim pada Pengadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
  1. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.





BAB IV
PENUTUP


A.   KESIMPULAN

1.      Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945 setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
2.      Mengenai kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun  2004, hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.
3.      Pengakuan Hukum Adat oleh Hukum Formal di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.

B. SARAN

1.      Diharapkan aparat yang berwewenang tetap menghormati eksistensi dan pengakuan adanya masyarakat adat dan hak-haknya yang secara jelas tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 18 B ayat (2), yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan


prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” dan dalam pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
2.      Apabila Hukum adat tidak diakui secara formil, maka berlakunya suatu sistem hukum itu harus didasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada di dalam masyarakat. Kenyataan di dalam masyarakat merupakan hukum yang hidup (Hukum Adat) dan sebagai salah satu sumber hukum yang sangat penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan Hukum Nasional yang menuju kearah unifikasi hukum   yang   terutama   melalui   pembuatan   peraturan   perundang undangan. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan adalah prinsip-prinsipnya, postiilat-postulatnya, asas-asas pokok yang menunjukkan jiwa dan cita-cita itu sangat asasi dan sepanjang masa menunjuk hal-hal relatif konstan karena harus dapat menjadi pedoman dan pegangan dalam jangka tertentu yang jauh.
3.      Diharapkan adanya pembaharuan UUPA, sehingga hukum adat tidak sekedar di akui keberadaannya tetapi juga harus didukung peranannya dan keberlakuannya dalam hukum nasional
















DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Univ Atma Jaya, Yogyakarta.

Soerojo Wignjodipuro. 1982. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.

Abdurrahman. 1978. Kedudukan  Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan Nasional,
Alumni, Bandung.

Sumber lainnya :

http://etiscahyaningputri.blogspot.com/2013/06/peranan-hukum-tidak-tertulis-dalam.html
http://ketutwirawan.com/adat-recht-dan-hukum-adat/
http://yotoprivate.blogspot.com/2013/03/makalah-hukum-adat.html

[1] Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Hlm. 205.
[2] Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 104.

[3] Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Univ Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 139-141.

1 komentar:

halbertracicot said...

Casino Hotel Las Vegas - Mapyro
Casino Hotel 속초 출장마사지 Las Vegas is located in Las Vegas Strip. It 강원도 출장마사지 is 3 km from the centre. The casino is a hotel and casino located on the Quailway  Rating: 원주 출장마사지 5 · 이천 출장마사지 ‎8 reviews · 공주 출장마사지 ‎Price range: ($)

Post a Comment