BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah yang terbentang
di sekitarnya. Ini menyebabkan keanekaragaman suku, adat istiadat dan
kebudayaan dari setiap suku di setiap wilayahnya. Hal ini sungguh sangat
menakjubakan karena biarpun Indonesia memiliki banyak wilayah, yang berbeda
suku bangsanya, tetapi kita semua dapat hidup rukun satu sama lainnya.
Sebuah lingkungan masyarakat di
manapun keberadaannya pasti memiliki aturan yang menggariskan perilaku anggota
masyarakat tersebut. Berbicara mengenai aturan maka kita akan berbicara
mengenai sanksi. Aturan tanpa adanya sanksi adalah sia-sia. Karena fungsi
sanksi adalah untuk memaksakan ketaatan masyarakat terhadap aturan tersebut.
Tanpa ada sanksi peraturan tidak akan dipatuhi oleh masyarakat.
Ketaatan masyarakat terhadap aturan
(hukum) mencerminkan kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Semakin
tinggi kesadaran masyarakat maka semakin rendah tingkat pelanggaran hukumnya.
Bahkan jika kesadaran yang dimiliki sangat tinggi masyarakat tidak membutuhkan
aparat penegak hukum seperti di Swiss.
Sebuah aturan hukum akan ditaati dan
dipatuhi oleh masyarakat apabila aturan tersebut memberikan jaminan bagi mereka
akan hak dan kewajiban secara proporsional. Ketika seseorang merasakan suatu
aturan yang melingkupinya memberikan kenyamanan maka individu tersebut akan
tunduk dan patuh pada aturan hukum tersebut. Dalam kenyataannya dalam
masyarakat hidup aturan yang tidak tertulis, yang lebih dikenal dengan hukum
adat. Walaupun aturan-aturan tersebut tidak tertulis tetapi masyarakat (adat)
mematuhi aturan tersebut.
Hukum tidak tertulis adalah juga
hukum kebiasaan, salah satu contoh hukum tidak tertulis adalah hukum adat
Indonesia[1].
Menurut R. Soepomo, Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi
peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati
masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan
hukum. Kebiasaan atau tradisi adalah sumber hukum yang tertua, sumber dari mana
dikenal atau dapat digali sebagian dari hukum di luar undang-undang, tempat
kita dapat menemukan atau menggali hukumnya[2].
Perkembangan
hukum tertulis dan tidak tertulis sebagai sumber hukum di dalam suatu tatanan
hukum, terus berkembang pesat seiring semakin dinamisnya kehidupan
bermasyarakat dan berkembangnya peradaban umat manusia. Hakim harus memeriksa
dan memutuskan perkara sekalipun hukumnya tidak jelas, tidak lengkap. Ini
berarti bahwa ia tidak terikat pada undang-undang, sehingga dalam hal ini
kebiasaan mempunyai peranan yang penting[3].
Dengan
demikian dinegara kita kebiasaan merupakan sumber hukum. Kalau pembentukan
peraturan itu selalu dilakukan dalam pengadilan, maka terdapat hukum kebiasaan
di samping undang-undang.
B. Identifikasi
Masalah
Hukum Adat merupakan hukum yang
tidak tertulis akan tetapi didukung oleh rasa ketaatan dan kepatuhan yang luar
biasa dari masyarakat di mana hukum itu berlaku. Mendasarkan uraian tersebut di
atas maka permasalahan yang timbul adalah:
1. Bagaimana
Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945 ?
2. Bagaimana
Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan ?
3. Bagaimana
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Hukum Adat
Pengertian Hukum adat lebih
sering diidentikkan dengan kebiasaan atau kebudayaan masyarakat setempat di
suatu daerah. Mungkin belum banyak masyarakat umum yang mengetahui bahwa hukum
adat telah menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia, sehingga
pengertian hukum adat juga telah lama menjadi kajian dari para ahli hukum. Pengertian hukum adat dewasa ini
sangat mudah kita jumpai di berbagai buku dan artikel yang ditulis oleh para
ahli hukum di tanah air.
Secara histori, hukum yang ada di negara Indonesia
berasal dari 2 sumber, yakni hukum yang dibawa oleh orang asing (belanda)
dan hukum yang lahir dan tumbuh di Negara Indonesia itu sendiri. Mr. C.
Vollenhoven adalah seorang peneliti yang kemudian berhasil membuktikan
bahwa negara Indonesia juga memiliki hukum pribadi asli.
B.
Pengertian Hukum Adat menurut Para Ahli
§ Menurut
Prof. H. Hilman Hadikusuma mendefinisikan hukum adat sebagai aturan kebiasaan
manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga
dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan dan
kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan negara.
§ Menurut Van
Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah Keseluruhan aturan tingkah laku
positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (sebab itu disebut hukum) dan di
pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (sebab itu disebut dengan
adat).
§ Menurut
Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, pengertian hukum adat adalah hukum yang tidak
bersumber kepada peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu
atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri
oleh kekuasaan Belanda dahulu.
§ Menurut
Prof. Mr. C. Van Vollenhoven hampir sama dengan pengertian hukum adat yang
dikemukakan oleh Prof. M. M. Djojodigoeno, SH. mengatakan bahwa hukum adat
adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
§ Menurut
Bushar Muhammad menerangkan bahwa untuk memberikan definisi atau
pengertian hukum adat sangat sulit sekali oleh karena hukum adat masih dalam
pertumbuhan. Ada beberapa sifat dan pembawaan hukum adat, yakni: tertulis
atau tidak tertulis, pasti atau tidak pasti dan hukum raja atau hukum rakyat
dan lain sebagainya.
§ Menurut
Soerjono Soekanto memberikan pengertian hukum adat sebagai kompleks adat-adat
yang tidak dikitabkan (tidak dikodifikasi) bersifat pemaksaan (sehingga
mempunyai akibat hukum).
§ Menurut
Supomo dan hazairin membuat kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang
mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain. Hubungan
yang dimaksud termasuk keseluruhan kelaziman dan kebiasaan dan kesusilaan yang
hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh masyarakat.
Termasuk juga seluruh peraturan yang mengatur sanksi terhadap pelanggaran dan
yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat. Penguasa adat adalah mereka
yang mempunyai kewibawaan dan yang memiliki kekuasaan memberi keputusan dalam
suatu masyarakat adat. Keputusan oleh penguasa adat, antara lain keputusan
lurah atau penghulu atau pembantu lurah atau wali tanah atau kepala adat atau
hakim dan lain sebagainya.
C.
Istilah Hukum Adat
Istilah “Hukum Adat” baru dipergunakan secara resmi
dalam peraturan perundang-undangan pada tahun 1929. Proses perkembangannya
adalah sebagai berikut : Tahun 1747 – Pada waktu VOC (zaman Van Imhoff)
menyusun buku perundang-undangan yang berlaku untuk Landraad-nya di Semarang
dipergunakan istilah “Undang-undang Jawa sejauh dapat kita terima” (“de
Javaanse wetten, voorzover ze bij ons tollerabel zijn”).
Tahun 1754 – William Marsden memakai di Sumatra sampai tahun 1836 istilah “customs of the country” dan “customs and manners of the native inhabitants”.
Istilah “Hukum Adat” itu sendiri semula masih asing bagi bangsa Indonesia. Sebabnya adalah bahwa ternyata dalam masyarakat Indonesia dahulu (zaman Mataram, Mojopahit, Pajajaran, Sriwijaya dan lain sebagainya) tidak ada suaru golongan tertentu yang khusus mencurahkan perhatiannya terhadap pengistilahan-pengistilahan hukum ini.Dan akhirnya pada tahun 1929 pemerintah kolonial Belanda mulai memakai istilah “Hukum Adat” (“Adatrecht”) dengan resmi di dalam peraturan perundang-undangannya.
Tahun 1754 – William Marsden memakai di Sumatra sampai tahun 1836 istilah “customs of the country” dan “customs and manners of the native inhabitants”.
Istilah “Hukum Adat” itu sendiri semula masih asing bagi bangsa Indonesia. Sebabnya adalah bahwa ternyata dalam masyarakat Indonesia dahulu (zaman Mataram, Mojopahit, Pajajaran, Sriwijaya dan lain sebagainya) tidak ada suaru golongan tertentu yang khusus mencurahkan perhatiannya terhadap pengistilahan-pengistilahan hukum ini.Dan akhirnya pada tahun 1929 pemerintah kolonial Belanda mulai memakai istilah “Hukum Adat” (“Adatrecht”) dengan resmi di dalam peraturan perundang-undangannya.
D.
Istilah Hukum Adat menurut Para Ahli
Hukum Adat dikemukakan pertama kali
oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894).
Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje
dalam bukunya de atjehers
(Aceh) pada tahun 1893-8194 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak
dikodifikasi adalah de atjehers.
Kemudian istilah ini dipergunakan
pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga
Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di
Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht
dalam bukunya yang berjudul Adat Recht
van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan di Hindia Belanda
secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan
Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal
134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.
Dalam masyarakat Indonesia, istilah
hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis
saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan
dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku
dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem
keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal juga
istilah Adat Law, namun
perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah
sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Pendapat ini diperkuat dengan
pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif
oleh Prof. Amura : sebagai
lanjutan kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena
penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah
manusia kepada adat.
Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat
Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia
dalam abad ke satu tahun masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di
dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang
Ulama Aceh[1] yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad
Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630.[2] Prof. A. Hasymi
menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang
mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.
E.
Sifat Hukum Adat
Hukum adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau Eropa Kontinental
lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme –realisme artinya mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius, sehingga hukum
adat mempunyai fungsi social atau keadilan social. Sifat yang menjadi ciri
daripada hukum adat sebagai 3 C adalah:
1.
Commun atau komunal atau kekeluargaan
(masyarakat lebih penting daripada individu);
2.
Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam
hukum adat sah bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan
hukum.
3.
Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum
dinyatakan sah bila dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya.
28/10/2008 klas F
Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis dan
plastis
1.
Statis, hukum
adat selalu ada dalam amsyarakat,
2.
Dinamis, karena
hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang
3.
Plastis/Fleksibel,
kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan masyarakat.
Sunaryati Hartono, menyatakan28: Dengan perspektif perbandingan, maka ketiga ciri dapat ditemukan dalam
hukum yang berlaku dalam masyarakat agraris atau pra industri, tidak hanya di
Asia tetapi juga di Eropa dan Amerika. Surnarjati Hartono sesungguhnya hendak
mengatakan bahwa hukum adat bukan khas Indonesia, namun dapat ditemukan juga di
berbagai masyarakat lain yang masih bersifat pra industri di luar Indonesia.
F.
Manfaat Mempelajari Hukum Adat
1.
Hukum Adat sebagai Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan bertujuan untuk meningkatkan kehidupan manusia. Di dalam
meningkatkan hidup itu dibutuhkan petunjuk-petunjuk hidup. Salah satu petunjuk
hidup itu adalah norma hukum, termasuk norma hukum adat.
Sebagai
bagian dari ilmu pengetahuan pada umumnya, maka hukum adat mempunyai:
§ Obyek adalah
sasaran yang harus dipelajari yaitu kebiasaan-kebiasaan yang berkonsekuensi
hukum.
§ Metode
adalah cara untuk mempelajari, meneliti dan menganalisis hukum adat.
§ Sistematis
adalah disusun sedemikian rupa sehingga orang mudah untuk mempelajarinya
Dengan
demikian hukum adat dipelajari untuk memenuhi tugas Pengajaran dan Penelitian
2.
Dalam rangka pembinaan atau pembentukan hukum Nasional
Pembentukan
hukum nasional menuju unifikasi hukum tidak bisa mengabaikan hukum adat yang
ada di masyarakat. Zhukum adat merupakan sumber penting untuk memperoleh
bahan-bahan, karena hukum adat mempunyai asas-asas atau nilai-nilai yang
universal dan lembaga. Asas-asas hukum adat yang dapat dipakai sebagai bahan
pembentukan hukum nasional adalah :
a.
Asas kebersamaan dan kekeluargaan artinya mengutamakan
kepentingan bersama dan kekeluargaan dalam pembentukan berbagai
perundang-undangan
b.
Asas gotong royong. Asas ini dapat berbentuk gotong
royong secara organis / konvensional, yaitu spontanitas saling membantu
menolong yang membutuhkan. Dan juga ada yang gotong royong secara
organisatoris, yaitu, tolong menolong melalui organisasi tertentu.
c.
Asas fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat
Manusia dikatakan berguna apabila dapat membantu sesamanya. Demikian pula hak milik bukan berarti milik pribadi semata-mata namun juga untuk kepentingan umum. Contoh fungsi sosial hak milik telah diakomodir dalam pasal 6 UUPA.
Manusia dikatakan berguna apabila dapat membantu sesamanya. Demikian pula hak milik bukan berarti milik pribadi semata-mata namun juga untuk kepentingan umum. Contoh fungsi sosial hak milik telah diakomodir dalam pasal 6 UUPA.
d.
Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum.
Kekuasaan dari mulai desa hingga pemerintah pusat dibentuk dari persetujuan
warga, baik dengan pemilu langsung maupun pemilu tidak langsung.
Lembaga-lembaga
hukum adat yang dapat berfungsi secara analog dengan cara-cara
perdagangan modern , yaitu :
a.
Lembaga Panjar, Panjar adalah tanda permulaan
seseorang yang berkeinginan membeli barang orang lain. Di dalam perdagangan
modern dikenal lembaga yang mirip dengan lembaga panjar, yaitu commitmen fee dan down payment (DP). CF biasa di
pungut oleh penjual pada saat penandatangan kontrak sebagai tanda jadi, CF ini
tidak mengurangi harga barang. Sedangkan DP akan mempengaruhi atau mengurangi
harga barang.
b.
Lembaga Maro, diambil dari kata separo. Orang yang
mempunyai tanah namun tidak mampu untuk mengerjakannyannya dapat bekerja sama
dengfan orang lain untuk mengerjakannya dan melakukan perjanjian bagi hasil
dengan orang tersebut. dalam hukum nasional lembaga ini sudah diangkat dalam UU
No.2/1960 yang mengatur pula tentang bagi hasil pertanian dan UU
No.2/1964tentang bagi hasil perikanan. Dalam perdagangan modern disebut sebagai
“production sharing contract”
c.
Lembaga jual oyodan atau jual tahuanan, Diambil dari
kata oyot atau akar dalam bahasa jawa. Jual oyodan adalah pemilik tanah
menyewakan tanahnya untuk beberapa kali musim tanam atau bisa juga menyewakan
tanahnya untuk beberapa tahun. Lembaga ini mirip dengan sewa-menyewa kapal
kosong (bare boat/tanpa ABK) untuk melayani beberapa kali trayek tertentu.
d.
Lembaga tanggungan, Seseorang yang membutuhkan
pinjaman uang dengan tanggungan / jaminan tanahnya. Dalam dunia modern sudah
menjelma menjadi UU Hak Tanggungan dan juga jaminan dalam pengambilan kredit di
bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya.
3.
Mengembalikan dan Memupuk Kepribadian Bangsa
Kepribadian
atau karakter bangsa Indonesia yang cinta dengan kebudayaannya semakin luntur
oleh modernisasi dan westernisasi. Dengan mempelajari hukum adat yang
mengandung nilai-nilai luhur, diharapkan rasa nasionalisme / kepribadian bangsa
menjadi tumbuh-kembang kembali.
4.
Agar mengetahui Fungsi dari Hukum Adat
Hukum adat
mempunyai dua fungsi yaitu sebagai pedoman dan pengawasan (sociual control) . Sebagai pedoman,
maka hukum adat berfungsi sebagai pedoman dalam bertingkah laku, bertindak,
berbuat di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai pengawasan, hukum adat melalui
petugas-petugas adat akan mengawasi segala tingfkah laku anggota masyarakat
agar sesuai dengan hukum adat. Apabila ada pelanggaran maka akan dikenakan
sanksi untuk memulihkan keseimbangan
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945
Konstitusi kita sebelum amandemen
tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah
hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya
rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum
adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini
mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan
hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal
33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas
kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan
pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara
(HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional
diakui dalam hukum adat.
Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan
UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup
juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah
negara hendak mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan
hukum. karena azas-azas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan
hal itu menjadi penting dan disesusaikan dengan tuntutan dan perkembangan
masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga
adalah : negara mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan
penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya
pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan
politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan
umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan
karakter manusia pemimpin publik yang memiliki watak berani, bijaksana, adil,
menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran
keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini
mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan
harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat
memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui
Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai
sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa
dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.
Namun setelah amandemen konstitusi,
hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal
18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam memberikan tafsiran terhadap
ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa
pengakuan ini diberikan oleh Negara :
1) Kepada
eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang
dimilikinya;
2) Eksistensi
yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya
pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan
karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
3) Masyarakat hukum adat itu memang
hidup (Masih hidup);
4) Dalam lingkungannya (lebensraum) yang
tertentu pula;
5) Pengakuan
dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi
kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya
tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh
dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan
sentimentil;
6) Pengakuan
dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu
negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 :
32-33)
Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945
tersebut maka:
1.
Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat
dan hak-hak tradisionalnya ;
2.
Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih
hidup;
3.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
4.
Sesuai dengan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.
Diatur dalam undang-undang
Dengan demikian konsitusi ini,
memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
1. Syarat
Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;
2. Syarat
Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan
keberlakuan diatur dalam undang-undang;
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945
menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3)
pada prinsipnya mengandung perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam
Bab VI tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan
penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (indigeneous
people). Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi :
1)
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan
dan kebutuhan dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi
oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.
2)
Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak
atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Sebagaimana Penjelasan UU No. 39
Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang
secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat
hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan
penegakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan
hukum dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2)
menyatakan dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional
masyarakat hukum adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat
hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak
bertentangan dengan asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak
atas tanah adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan
perkembangan zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak
adat yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat
B. Kedudukan Hukum Adat dalam
Perundang-undangan
Perundang-undangan sesuai dengan UU
No. 10 Tahun 2004, maka tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut :
1.
Undang-undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang/ Perpu
3.
Peraturan Pemerintah;
4.
Peraturan Presiden
5.
Peraturan Daerah;
Hal ini tidak memberikan tempat
secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum
adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam
perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.
Dalam kesimpulan seminar Hukum Adat
dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975 telah dijelaskan
secara rinci dimana sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional
di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat,
kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum
adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai
pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas
diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat selanjutnya
mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat
penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia,
dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim.
C. Pengakuan Adat Oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum
adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat
merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa,
dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang
terletak di daerah Maluku Tengah, ini
butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada
saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia
sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam
penjatuhan pidana oleh salah satu Hakim pada Pengadilan Negeri Masohi di
Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus
melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan
pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum
Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah
diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk
menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional
bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan
yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :
- Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
- Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
- Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang
menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat,
hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat
masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana
hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan
perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam
peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang
mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kedudukan
Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945 setelah amandemen konstitusi, hukum adat
diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2)
yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
2. Mengenai
kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun
2004, hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai
sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum
adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan
hakim atau atau pendapat para sarjana.
3. Pengakuan
Hukum Adat oleh Hukum Formal di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat
dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan),
secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa
contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan
hukum adat dalam kepemilikan tanah.
B. SARAN
1. Diharapkan
aparat yang berwewenang tetap menghormati eksistensi dan pengakuan adanya
masyarakat adat dan hak-haknya yang secara jelas tertuang dalam Undang-Undang
Dasar 1945 pada pasal 18 B ayat (2), yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan
prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” dan dalam
pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
2. Apabila Hukum adat tidak diakui secara formil, maka berlakunya
suatu sistem hukum itu harus didasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada di
dalam masyarakat. Kenyataan di dalam masyarakat merupakan hukum yang hidup (Hukum
Adat) dan sebagai salah satu sumber hukum yang sangat penting untuk memperoleh
bahan-bahan bagi pembangunan Hukum Nasional yang menuju kearah unifikasi
hukum yang terutama
melalui pembuatan peraturan
perundang undangan. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan adalah
prinsip-prinsipnya, postiilat-postulatnya, asas-asas pokok yang menunjukkan
jiwa dan cita-cita itu sangat asasi dan sepanjang masa menunjuk hal-hal relatif
konstan karena harus dapat menjadi pedoman dan pegangan dalam jangka tertentu
yang jauh.
3. Diharapkan
adanya pembaharuan UUPA, sehingga hukum adat tidak sekedar di akui
keberadaannya tetapi juga harus didukung peranannya dan keberlakuannya dalam
hukum nasional
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Univ Atma Jaya, Yogyakarta.
Soerojo Wignjodipuro. 1982. Pengantar
Dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.
Abdurrahman. 1978. Kedudukan Hukum Adat Dalam
Rangka Pembangunan Nasional,
Alumni, Bandung.
Sumber lainnya :
http://etiscahyaningputri.blogspot.com/2013/06/peranan-hukum-tidak-tertulis-dalam.html
http://ketutwirawan.com/adat-recht-dan-hukum-adat/
http://yotoprivate.blogspot.com/2013/03/makalah-hukum-adat.html
1 komentar:
Casino Hotel Las Vegas - Mapyro
Casino Hotel 속초 출장마사지 Las Vegas is located in Las Vegas Strip. It 강원도 출장마사지 is 3 km from the centre. The casino is a hotel and casino located on the Quailway Rating: 원주 출장마사지 5 · 이천 출장마사지 8 reviews · 공주 출장마사지 Price range: ($)
Post a Comment